Mari bicara pendulum politik, syariah dan radikalisasi
Aku beranjak remaja ketika dua orang cendekiawan muslim yang sangat aku hormati diambil paksa oleh pemerintah Orde Baru. Mereka 'diambil' aparat hanya karena mereka kebetulan dekat dengan kelompok-kelompok pengajian mahasiswa di tahun 80-an. Tidak pernah ada pengadilan apapun terhadap mereka. Yang ada hanya penyiksaan. Keduanya dihina, disiksa, disetrum berkali-kali bahkan (maaf) sampai ejakulasi, dipersulit untuk beribadah dan berbagai penistaan lainnya..
Setelah beberapa lama, satu orang pulang dengan tetap sehat, tetapi kehilangan waktunya yang sangat berharganya sebagai salah satu ilmuwan terkemuka. Mantan mahasiswanya sudah menjadi doktor dan akhirnya dia belajar kepada mantan mahasiswanya itu. Intel Orde Baru di era LB Moerdani telah merampas masa produktifnya.
Sementara, satu orang lagi dikembalikan ke keluarganya dalam keadaan lumpuh dan mengalami kerusakan otak yang cukup parah. Setiap pagi, di atas kursi rodanya, sang cendekiawan ini dijemur di matahari pagi untuk terapi dan melakukan aktivitas buang air tak terkontrol di kursi rodanya. Ia menjadi bagai bayi lagi sampai akhir hayatnya. Ketika dia meninggal di awal 90-an, sang istri menitikkan air mata tetapi tampak lega karena suaminya telah terbebas dari penderitaannya.
Sebelumnya, di akhir 80-an, seorang kenalanku yang cerdas secara akademis dipaksa keluar dari SMAnya hanya karena dia berjilbab. Dia ingin melaksanakan 'syariah' alias 'tuntunan agama' dan menegakkan ajaran agama atas kehendak hatinya. Tetapi, negara mengintervensinya. Bapaknya--yang tentara-- pangkatnya juga tersendat. Masih banyak lagi pelajar dan karyawan yang mengalami diskriminasi serupa karena ingin melaksanakan sesuatu yang mereka yakini sebagai syariah--tuntunan agama.
Di tahun 80-an, pendulum politik di tangan Soeharto memang berpihak kepada kelompok non-santri--baik di kalangan ABRI maupun elite lainnya.Di tahun 90-an, Soeharto mulai mendekat ke kelompok lain. Pendulum politik akhirnya mengayun ke kelompok santri. Sebagai gantinya, kelompok-kelompok pro-demokrasi-- yang sering dituding sebagai 'kiri' menjadi kambing hitam di mana-mana. Secara kebetulan, beberapa orang yang dekat dengan beberapa kelompok pro demokrasi waktu itu adalah juga mantan orang-orang di lingkaran kekuasaan di tahun 1970-1980an.
Jatuhnya Soeharto bagaikan terbukanya kotak Pandora. Semua yang disimpan rapat menjadi terbuka. Semua yang dulu ditekan menjadi meluap. Yang dulu berlomba menjilatnya tiba-tiba muncul dengan topeng kemasan baru. Yang dulu tersingkir juga berusaha untuk mengambil kesempatan. Era reformasi tidak ubahnya dengan kembalinya era pembentukan bangsa--nation building-- di tahun '40an-'50an. Tuntutan yang diteriakkan rakyat di mana-mana pun hampir serupa: merdeka, desentralisasi, keadilan dan kebebasan beraktualisasi (dari yang membawa isu kebebasan berekspresi, kebebasan tebang pohon sampai kebebasan beragama). Sementara, bahasa yang digunakan untuk saling berdialog masing-masing elemen masyarakat juga sama: kekerasan, curiga dan 'pokoknya'.
Semua mempunyai definisi sendiri terhadap reformasi.
"Benar, Mas! Ini jaman reformasi. Anda bebas mengkritik pemimpin kami. Saya juga bebas memukul Anda," ucap seorang koordinator satgas sebuah partai besar kepada seorang wartawan Yogyakarta di sekitar tahun '98.
Bagaikan komputer, negara kita seperti baru saja mengalami Warm Boot--memakai Ctr + Al+ Del. Meskipun begitu, isinya tetap sama: rakyat yang saling gerah satu sama lainnya karena polarisasi memang telah ditumbuhkan. Semua hal selalu dibawa dalam perspektif lama. Tidak ada pemikiran jangka panjang karena energi telah dihabiskan untuk bertengkar hari ini dan kemarin. Trend global 'benturan peradaban' direproduksi ke dalam batas-batas negara. Pendulum politik sedang di tengah-tengah karena semua pihak merasa menjadi korban. Para 'mantan korban' berlomba untuk memasuki dunia politik tetapi tidak semuanya dilengkapi dengan pemikiran bernegara yang utuh, kematangan emosi dan integritas yang tinggi. Akibatnya suasana chaotic semakin menjadi-jadi.
Semua orang merasa sedang melakukan perjuangan suci dalam berbagai bentuk. Mereka memperjuangkan agama, kebebasan berpikir, kesetaraan, kaum miskin kota, hak asasi manusia, demokratisasi, integrasi, keberagaman, dan sejumlah isu 'suci' lainnya. Meskipun begitu, bangsa Indonesia tidak pernah beranjak dewasa dalam menenggang beda. Lingkaran setan kekerasan di masyarakat di masa lalu hanya direproduksi menjadi kekerasan di masa kini. Represi terhadap orang yang ingin melaksanakan ajaran agamanya sama saja buruknya dengan represi yang dilakukan pihak yang merasa ajaran agamanya paling benar. Pihak yang merasa pernah menjadi korban bangkit lagi dan pada gilirannya membuat orang lain menjadi korban.
Apakah kita ingin mengulang sejarah kelam bangsa-bangsa lain di dunia di mana para korban akhirnya menjadi tirani ketika mereka berkuasa? Sebagai orang yang percaya pada nilai agama, saya percaya bahwa nilai agama adalah sebuah solusi. Tetapi, saya tidak percaya apabila yang memperjuangkannya adalah orang-orang yang tidak terlatih hidup dalam menenggang beda dan--sebaliknya--terbiasa hidup dalam kekerasan. Sama halnya, saya sulit mempercayai segelintir orang di antara aktivis yang berteriak soal keragaman budaya sementara mereka sendiri melecehkan kaum puritan. Di sini, saya kembali teringat kata cendekiawan yang berintegritas tinggi, mendiang Th. Sumartana, "Tidak masalah ada negara berdasar syariah atau etika agama apapun. Tetapi, buktikan dulu bahwa prosesnya demokratis."
Masalahnya, siapa di Indonesia yang benar-benar demokratis? Ke mana bangsa kita harus melangkah? Pemerintahan yang represif terhadap elemen masyarakatnya tentu saja bukan opsi. Represi justru akan semakin menguatkan radikalisasi dan hanya akan melahirkan represi baru di kemudian hari. Enough is enough. Dalam situasi seperti saat ini, yang perlu dicegah adalah makin menguatnya polarisasi dan radikalisasi di masyarakat.
Semua isu yang hanya bagaikan bensin bagi bara polarisasi dan disintegrasi di Indonesia seharusnya dikelola dalam kerangka yang tepat melalui penegakan hukum dan dialog yang sehat. Satu contoh, terbitnya Playboy Indonesia-- di saat ada ribut-ribut RUU APP-- justru membikin runyam keadaan (meskipun majalah itu sebenarnya tidak ada apa-apanya dibanding majalah dan tabloid lain yang beredar di tahun 70-an dan pasca '98). Perda-perda yang menimbulkan ekses di masyarakat juga harus 'dikalibrasi' dengan alat ukur kehidupan bernegara, dengan konstitusi yang ada. Pemerintah harus tanggap. Tidak ada tempat bagi pemimpin yang peragu karena bangsa Indonesia berpacu dengan waktu. Negara ini akan semakin terpuruk apabila semua merasa berjuang, tetapi sesungguhnya memperturutkan hawa nafsu.
Udah, ah. Udah hampir seribu kata nih...! Kembali ke disertasi, Srar! (Israr Ardi, 30072006)
Comments
Ketika seniornya-- Dr. Busono Wiwoho (yang dikirim Orde Baru ke Pulau Buru) datang seusai 1998 ke fakultas tempat bapakku mengajar, justru bapakku adalah orang yang dirangkulnya pertama kali. Mereka berbeda, tetapi berdialog dengan bahasa yang indah. Bukan kekerasan.